Sabtu, 28 Juli 2012
MENANGIS KARENA BERSYUKUR
Dalam kitabnya Mukasyafah Al-
Qulub, Imam Gozali menuturkan;
seorang nabi melewati sebuah
batu besar yang dari situ keluar
banyak air. Ia merasa heran
kepada batu itu. Kemudian, Allah menjadikan batu itu bisa bicara.
Batu itu berkata; “Sejak aku mendengar firman
Allah SWT, “…..dan kayu bakarnya
(neraka) adlah manusia dan batu
(QS. Al-Baqarah ; 24), aku terus
menangis karena takut kepada-
Nya. “ Nabi tersebut kemudian berdoa
kepada Allah agar sang batu itu
diselamatkan dari api neraka.
Allah menyelamatkannya. Setelah
berlalu beberapa waktu lamanya,
nabi tadi melihat batu itu sedang menangis seperti dulu. Lantas
nabi bertanya. “Mengapa engkau
menangis ?” Batu menjawab, : “Dulu aku
menangis karena takut,kini aku
menangis karena bersyukur dan
bahagia.” Hikmah luar biasa ingin
disampaikan oleh Imam Ghozali
(semoga Allah merahmatinya). Hati
manusia seperti batu, bahkan
lebih keras lagi. Tidak akan ada
yang mampu menghilangkan sifat kerasnya kecuali tangisan dalam
keadaan takut, dan berikutnya
tangisan lagi dalam keadaan
syukur. Menginjak fase
berikutnya lagi menangis dalam
keadaan takut dan syukur kepada-Nya. Bagaimanakah hati kita bisa
menangis ?. Kekerasan ibukota,
ritmenya yang menggila.
Kebutuhan rumah tangga yang
melambung. Hutang-hutang yang
jatuh tempo. Kartu kredit yang harus di bayar, pembantu yang
harus di gaji, telpon,listrik, kredit
mobil. Dan masih banyak lagi
kesibukan-kesibukan lainnya lagi. Berangkat kerja sejak sebelum
subuh dan pulang kembali ketika
semua keluarga sudah tertidur.
Sendiri selalu pulang pergi. Mau
bagaimana lagi. Mau cari uang
kemana lagi. Waa..semua itu membuat kepala serasa mau
pecah saja. Mau menangis pun
rasanya air mata sudah tak ada
lagi. Apa yang harus di tangisi
keadaan sudah begini. Selain
bekerja, bekerja dan terus bekerja. Tidak ada yang halal
yang haram pun jadi. Setidaknya
aman untuk saat ini. Bagaimana di
akherat nanti. He eh tak peduli.
Begitulah sang Ayah yang
terdampar di kehidupan dunia. Mengkais mimipi yang tak kunjung
pagi. Hati tidak bisa menangis kerasnya
kehidupan memaksa setiap hati
untuk memikirkan dirinya sendiri.
Semakin hilang empati hidup di
kota besar ini. Manusia semakin
tak peduli lagi. Mata telah melihat indahnya kota. Maka jiwa
menginginkan segalanya, semua
untuk menjadi miliknya. Tidak
perduli itu milik siapa, tak peduli
itu uang siapa, di korupsi saja.
Mumpung masih ada kesempatan, besok lagi belum tentu datang.
Kalaupun besok mati, bagaimana
nanti saja. Kalau begini keadaanya bisakah
hati menangis lagi ..?. Hati keras bagai batu, hati
seperti itu tidak menangis lagi
melihat penderitaan saudaranya.
Hati seperti itu tidak memiliki
empati lagi. Huk.. ! “Tapi saya tidak begitu ya..Allah,
tapi kenapa saya juga tidak
mampu menangis.?” Setitik kesadaran menjadi
‘burhan’, muncul dari hati yang
temaram. Maka kemudian Allah
mengajari hati tersebut untuk
menagis. Di ambil-Nya satu demi
satu harta yang di miliki. Mulai dari jabatan, deposito dan
tabungan, kemudian mobil dan
motor, perlahan semua di ambil
yang semula Allah titipkan. Mulailah hati tersebut merasakan
kesedihan. Mulailah hati tersebut
mampu membandingkan betapa
enaknya dahulu hidup dalam
kecukupan. Hal yang ‘aneh saja’
dahulu tidak pernah dirasakannya sama sekali. Hidup serba cukup
apa yang di khawatirkan lagi.
Mungkin batinnya begitu. Hati masih keras belum mampu
meneteskan air mata. Di tutuplah
seluruh jalan rejeki nya. Nafasnya
mulai tersengal, seperti ikan yang
kehabisan udara. Jiwa belum juga
menyerah, terus berlari kian kemari, usaha ini dan itu, pinjam
sana, pinjam sini, berharap
bisnisnya cepat kembali.
Kejadiannya, kembali hati itu
harus di hadapkan kepada
kenyataan, satupun usahanya tidak ada yang jalan, bahkan
hutang semakin menggunung.
Untiuk makan saja keadaan sudah
sulit sekali. Airt mata mulai menetes setitik
demi setitik pada hati tersebut.
Sudah dilakukannya ikhtiar
kesana kemari. Sudah di lakukan
segala daya upaya. Namun
kenapa justru semakin membuatnya terpuruk. Sungguh
upaya yang dilakukannya sudah
melebihi manusia biasa , bekerja
nyaris 18 jam sehari, adakah
yang salah ?. Satu demi satu di uraikan
kejadiannya, menetes setitik air
mata pada hatinya. Hatinya mulai
menangis. Di kibarkannya bendera
putih kepada Tuhannya. Ya..dia
menyerah, dia pasrah. “Saya ber serah atas mau-MU ya Allah.”
Hati itu tersadar tiada daya
upaya selain Allah. Secara
perlahan satu demi satu masalah
di angkat bahkan nyaris tanpa
usahanya sama sekali. Betul-betul di angkat begitu saja. Orang-
orang yang mengejar-ngejarnya
seperti tersadar, dan
memberikan kemudahan pada
dirinya. Sebagaimana juga kejadiannya
Siti Hajar saat itu yang berlari
kesana kemari menuruni bukit
untuk mencari air buat anaknya
(sa’i). Sebegitu keras usahanya
itu. Akhirnya Siti Hajar pasrah, berserah kepada Allah. Usahanya
sudah sedemkian hebat. Tubuh
lemahnya berlari pulang pergi
sebanyak 7 kali. Namun, nyatanya
dirinya tetap tidak mendapatkan
air. Maka dia berdoa sambil menangis. Kemudian Allah
mendatangkan pertolongan-Nya.
Agar Siti Hajar memukulkan
tangannya ke batu. Maka
muncullah air jernih untuk
keperluan mereka. Begitulah kesudahan bagi hati yang ber
serah (Islam). Duhai hati, menangislah selagi bisa
dalam syukur dan hanya takut
kepada-Nya. Sungguh pengajaran
Allah sangat berat bagi jiwa
manusia. Maka dapatkan suasana
itu sebelum datang cobaan yang mengujimu. Akankah engkau
menunggu Allah yang membuatmu
menangis dengan mengambil
semua yang dititipkan padamu ?.
Sekali kali janganlah begitu !.
Menangislah wahai hati, agar engkau memiliki empati dan
mampu menangis bersama Ibu
petiwi, yang sedang ber susah
hati ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar